My God Blessing the Land & Country HORALE

PELETAKAN BATU PERTAMA GEREJA ELIM HORALE

PELETAKAN BATU PERTAMA GEREJA ELIM
Minggu, 08 Mei 2011


Oleh
Bapak Gubernur Maluku
Karel A. Ralahalu

Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Gereja Elim ini, diatas puing-puing Gedung Gereja Elim yang telah terbakar.

Marilah kita satukan hati, tenaga dan tekad untuk membangun Iman dan Harapan bagi Kemuliaan Bapa di Sorga

Mohon dukungan Doa dan Dana.
Hubungi :
Pendeta Ny. M. Latupeirissa, S.Th
HP : 085 243 841 672

Selasa, 10 Mei 2011

PROFIL : Pendeta Negeri Horale

Ibadah Pagi Persiapan Kerja Bakti
Negeri Horale saat ini, sedang menggeliat membangun dari keterpurukan akibat konflik 2008 antara negeri Horale dengan Saleman yang meluluh lantakan kampung Horale. Pembangunan tidak hanya pada sisi fisik/ material, tetapi juga pada sisi rohani. Mental dan Iman masyarakat Horale yang sempat terpental jatuh terinjak-injak penuh emosi, amarah berbalut darah kini disusun kembali, yang merah bagai kermizi disucikan kembali bagaikan salju.

Gedung gereja Elim yang telah terbakar dibangun kembali, tua muda, lelaki dan wanita menyingsingkan lengan baju, bergotong royong mengangkat batu dan pasir tidak peduli hujan, panas, ataupun ganasnya lautan. Disisi lain, ibu-ibu dengan semangat menyiapkan makanan bagi pekerja. Tidak ada keluhan, hanya raut keras namun tersenyum selalu menandakan harapan baru dan semangat baru dalam menapaki hidup sebagai umat beragama.
Ibu Pendeta Negeri Horale


Pendeta Negeri Horale, Pdt. Ny. M. Latupeirissa, S.Th yang sehari-hari disapa Ibu Mei, dengan setia mendampingi mereka, masyarakat Horale memberi kekuatan dan senyuman. Pada pagi hari, beliau telah berdiri di depan gedung gereja darurat, menunggu jemaatnya untuk bekerja. lonceng dari bekas bom perang dunia ke dua dibunyikan berkali-kali, tanda berkumpul untuk berdoa dan memulai kerja bakti menyiapkan batu dan pasir.

Sembilan tahun telah berlalu ketika beliau mulai ditugaskan di negeri Horale dan sampai kini dengan sederhana dan lugas ibu Mei tetap mengayomi jemaatnya dan jemaatpun sangat mencintai dan menghormatinya. Beliau adalah figur keteladanan bagi orang Horale.

Dalam usahanya untuk membangun spiritual masyarakat Horale, beliau didampingi oleh suami tercinta Bapak Alex Lakatomi, S.Si yang keseharian sebagai seorang wiraswasta  dengan setia mendampingi ibu Mei beserta ke enam orang anak mereka.

Tugasnya sebagai pendeta di negeri Horale tidak mudah, ada dua wilayah kerja yang harus beliau layani yaitu negeri induk Horale dan kampung Saka, yang terhubung hanya lewat jalur laut. Pada bulan Desember ketika laut bergelora beliau tetap harus mengarungi lautan menggunakan katinting menuju kampung Saka untuk melakukan kebaktian disana. Diceritakan oleh Ibu Mei bahwa pada bulan desember beliau bersama Majelis Jemaat yang mendampinginya pernah terbalik pada malam hari ketika kembali dari kampung Saka. Semuanya dijalani dengan sabar dan tekun.

Atas usaha keras ibu Mei, maka pada hari minggu, tanggal 08 Mei 2011, Bapak Gubernur Maluku, Ketua Sinode GPM dan rombongan telah datang ke negeri induk Horale untuk melakukan prosesi Peletakan Batu Pertama pembangunan gedung Gereja Elim yang baru. Menurutnya, "Tidak Ada Hal Yang Mustahil Jika Hidup Bersama Tuhan".

Biografi 
Nama      : Maria Latupeirissa, S.Th
Lahir       : Haria, 21 April 1967

Pendidikan
SD Negeri 3 Haria
SMP Negeri 3 Saparua
SMA Negeri 1 Saparua
Program D3 Fakultas Theologia UKIM Ambon
Sarjana Fakultas Filsafat UKIM Ambon

Riwayat Kerja
1. Ketua Majelis Jemaat GPM Rumahmole, tahun 1996 - 2002
2. Ketua Majelis Jemaat GPM Horale, tahun 2002 - sampai sekarang

Rabu, 04 Mei 2011

KONDISI KEKINIAN


KONDISI KEKINIAN
by Revo Gaspersz
1.     Permasalahan di negeri Horale.
Permasalahan yang ada menurut masyarakat sendiri adalah:
Ø        Penerangan, sampai sekarang ini PLN belum masuk menjangkau rumah-rumah yang ada di negeri Horale, walaupun fasilitas penerangan sudah ada tapi waktu kerjanya terbatas.
Ø        Transportasi, masyarakat masih menggunakan katinting walaupun kadang-kadang cuaca tidak bersahabat mereka tetap harus menggunakan sarana tersebut. Padahal ada alternatif jalan darat, namun itu harus disemen (beton) supaya perjalanannya aman.
Ø        Alat-alat pertanian, seperti pengering kopra dan coklat. Karena faktor cuaca kadangkala tidak mendukung dalam proses pengeringan kopra dan coklat dan itu mempengaruhi pendapatan masyarakat.
Ø        Air bersih, sarana pendukung (tangki penampungan air, instalasi pipa) sudah ada tapi mesin genset untuk menyalakan mesin tidak ada.
Ø        Marga Parentah, menurut marga tertentu mereka juga memiliki hak untuk menjadi raja di negeri Horale.

2.      Potensi Konflik.
Potensi Konflik yang sangat besar di negeri Horale adalah menyangkut dengan masalah tanah wilayah petuanan. Walaupun sudah di bawa ke pengadilan sampai ke sidang Mahkamah Agung tapi potensi konflik kekerasan antar dua negeri sangat besar, terkait dengan permasalahan ini. Pada hari Kamis tanggal 24 Maret dilangsungkan rapat dengar pendapat dengan DPRD kabupaten Maluku Tengah terkait dengan laporan dari pemerintah negeri Saleman bahwa telah terjadi penyerobotan tanah oleh orang Horale, semestinya yang diundang hanya raja negeri Horale, pejabat raja Saleman, Camat Seram Utara Barat dan ketua Laupati Seram Utara Barat (raja Pasanea), namun kenyataannya pejabat Saleman hadir dengan saniri negeri lengkap bahkan ada elemen pemuda yang hadir juga, rapat berjalan alot sekali karena saling menanggapi secara keras antar dua kubu, dan menurut raja negeri Horale dia tidak senang dengan salah satu bahasa yang di tulis oleh pemerintah negeri Saleman untuk Badan Pertanahan Kabupaten Maluku Tengah, bahwa “apabila Badan Pertanahan Kabupaten Maluku Tengah tidak merestui surat yang mereka buat, maka peristiwa 2008 akan terjadi lagi”. Ini merupakan ancaman, ketika di beri kesempatan untuk menanggapinya, raja Horale katakan buat pejabat Saleman, “bapak-bapak anggota dewan sekalian yang saya hormati, bapak kapolres bahkan semua yang ada disini, jujur saja saya mau bilang, bahwa kalau pejabat negeri Saleman punya bahasa seperti itu, bahwa persoalan 2008 akan terjadi lagi, untuk ketahuan bapak-bapak sekalian, negeri Horale akan siap untuk melayani, kapan saja itu terjadi. Saya bilang kalau pemerintah daerah, DPRD dan kepolisian yang ada di kabupaten Maluku Tengan tidak arif dan bijksana untuk melihat hal ini, terkait stabilitas keamanan dikecamatan Seram Utara Barat, itu pasti konyol. Pada saat itu yang hadir adalah komisi A DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Wakapolres dan staff, Pemerintah Daerah diwakili oleh, Assisten I, Staf Ahli bidang Pemerintahan, Badan Pertanahan kabupaten Maluku Tengah, Kesbanglinmas, raja Horalle, Pejabat Saleman, Camat Seram Utara Barat, Ketua Latupati Seram Utara Barat (raja Pasanea).

3.      Penanganan Potensi Konflik
Ø        Untuk mengantisipasi konflik yang akan terjadi dan mengatasi permasalahan yang terjadi maka masyarakat, pemerintah dan pihak gereja Horale telah membentuk  satu Tim yang namanya Tim Pemulihan Negeri Horale dengan ketua Timnya yaitu bapak Yosep Patalatu, dalam Tim ini ada satu seksi yaitu Seksi Rekonsiliasi yang diketuai oleh bapak Piet Patalatu. Tim ini bekerja untuk melakukan pemulihan di negeri Horale.
Ø        Ada peluang untuk dilakukannya pertemuan antar beberapa warga Horale dan Saleman untuk membicarakan masalah kedua negeri secara musayawarah tapi sampai sekarang belum ada organisasi/ lembaga / badan yang memfasilitasinya, untuk itu selaku pemerintah negeri Horale melalui kegiatan ILO-UNIDO sangat mengharapkan dari pak Agung melalui kegiatan LSM bisa memediasi pertemuan ini, karena jujur saja bahwa pemerintah negeri Horale masih punya rencana kedepan untuk hidup berdampingan dengan negeri saleman walaupun dengan cara seperti apa.

4.     Saran Masyarakat
Ada satu solusi dalam rangka penyelesaian masalah Horale – Saleman, minimal untuk meredam aksi kekerasan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu yaitu harus dilakukan pendekatan dan pertemuan antar marga yang memiliki hubungan.

SEJARAH KONFLIK


SEJARAH KONFLIK NEGERI HORALE
By Revo Gaspersz

a.    Peristiwa Konflik
Konflik 19 Januari 1999 tidak berdampak di negeri Horale dengan negeri-negeri tetangganya, namun tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang dapat menimbulkan konflik dengan negeri tetangga, tapi bisa diatasi dengan kearifan lokal pemerintah yang ada pada saat itu dengan pendekatan kekeluargaan / musyawarah. Dibawah ini beberapa peristiwa konflik yang terjadi antar masyarakat negeri Horale dengan Saleman.
·         Pada tahun 1983 permasalahannya adalah Muhamad Nur kerja bapak Ed punya tanah dalam kerja itu diusahakan kayu tapi mereka tidak memberikan maano kepada bapak Ed sehingga beliau menahan kayu-kayu tersebut. Dia marah tidak setuju atas tindakan yang dilakukan bapak Ed karena kayu tersebut sudah ada pembeli yang akan mengambil kayu tersebut, lalu dia mengambil tindakan terhadap bapak Ed, dari Saleman dia sudah keluarkan kata-kata yang kurang enak seakan-akan mau cari masalah terkait dengan kayu tersebut. Dia datang ke Saka dengan Usman mama nyai, Sam Haloatuan dan singgah dirumah bapak Ti punya rumah untuk minum sopi, bapak Opi masuk kedalam rumah lalu memukul Muhamad Nur dan diikuti oleh beberapa pemuda yang masuk kemudian memukul dia juga. Setelah dipukul kemudian mereka melarikan diri kembali ke Saleman, kebetulan jarinya Usman luka kena parang dan dia melabor darah tersebut dimukanya lalu dia lapor ke Saleman bahwa orang Horale potong dia. Selanjutnya masyarakat Saleman menyerang ke Horale pada siang itu juga, lalu membakar dapur, merusakkan tape, potong pisang-pisang milik bapak Onco, pada saat penyerangan itu negeri Horale sangat sunyi karena anak-anak mudanya sedang berada di Saka untuk naik cengkih, yang ada pada saat itu hanya bapak Cau (mantan raja), bapak pendeta Pei dan pendeta Sabono, pada hari itu bapak Piet sudah mau panah para penyerang itu, cuma busurnya patah sehingga tidak jadi, itu menurut mereka karena Tuhan tidak berkenan karena kalau itu terjadi bisa menimbulkan konflik yang lebih besar lagi, setelah puas dengan tindakannya mereka kembali ke Saleman. Bapak pendeta, purnawirawan brimob, bapak Kerlely (babinsa) waktu itu, lalu bapak Yesayas (waktu itu ketua AMPI) dan bapak Tobias Patalatu (pejabat raja Horale) membuat penyelesaian dengan orang Saleman terkait masalah itu.       

·         Kejadian ini pada tahun 1987 pada masa pemerintahan pejabat raja bapak Tobias Patalatu dan terjadi di Saka yang waktu itu belum menjadi kampong. Kejadiannya adalah Hais Makatita dan Baco Haloatuan berada di Saka dan mereka berdua dalam keadaan mabuk turun hendak kepantai dalam perjalanan mereka berdua melihat ada bambu (bangkawang atap) yang terikat dipinggir jalan kemudian Hais memotong bambu-bambu tersebut sehingga berserakan dijalan, melihat bambu-bambunya yang berserakan dijalan bapak Olop Rumapusule mencari tahu siapa yang melakukan hal itu dan oleh masyarakat yang melihat kejadiannya melaporkan bahwa yang buat itu adalah Hais, maka bapak olop mencari dia dipantai dan memukulnya dengan kayu buah sampai babak belur. Kemudian Hais dan Baco kembali ke negeri Saleman dan melaporkan kepada keluarga besar mereka bahwa mereka berdua dipukul oleh orang Horale. Karena mendapat laporan begitu masyarakat Saleman sudah bersiap untuk melakukan penyerangan ke Horale namun hal itu dihentikan oleh bapak Muh Rum Haloatuan, beliau mengatakan, “katong seng tau permasalahan yang terjadi disana sebaiknya katong tanya bae-bae langsung kepada Hais dan Baco apa yang sebenarnya terjadi disana, karena seng mungkin ada apa-apa yang dorang dua buat sampe dapa pukul seperti ini”. Dipanggilkan Hais dan Baco, tapi yang menghadap hanya Baco lalu ia menceritakan kronologis kejadian yang sebenarnya. Di Horale selaku pejabat Raja maka bapak Tobias memanggil bapak Olop untuk sama-sama ke Saleman untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi itu. Dalam perjalanan ke Saleman sampai di SMP dekat pekuburan kita bertemu dengan bapak Raja tua (makatita), lalu kita kerumah bapak sekertaris negeri yang sudah menunggu kita, tujuan kita ke Saleman untuk menyelesaikan persoalan ini secara adat / kekeluargaan. Dipanggil Hais dan Baco untuk menghadap tapi mereka tidak datang, pada saat itu ada Raja tua, pejabat raja, saniri negeri dan Babinsa sehingga diselesaikan masalah tersebut.

·         Pada tanggal awal tahun 1998, berawal dari masyarakat Horale melakukan pameri pembersihan lahan untuk perkebunan rakyat, lalu dilakukan juga oleh masyarakat Saleman untuk membatasi luas lahan masyarakat Horale namun dilakukan diatas lahan milik bapak Calo, akhirnya bapak Calo bikin permasalahan, tapi ada oknum anggota Brimob yang tanam patok di lahan itu dan dia membuat papan dengan tulisan” tanah ini milik Sertu Ismail Olat, bapak Yesayas Maatukusailemane bilang” sejak kapan kesatuan punya tanah disini, beliau mau laporkan masalah ini kekesatuan yang bersangkutan namun hal itu dicegah / diingatkan oleh bapak Yan Syauta (camat), beliau katakan masalah antar dua negeri ini sudah cukup jangan buat masalah dengan Sertu Ismail lagi, menurut beliau kalau dilapor ulahnya itu bisa-bisa dia akan kena sanksi dari atasannya bahkan bisa dipecat, bapak Yesayas kembali berpikir betul juga nanti kalau dia dipecat bagaimana kehidupan keluarganya. Tapi satu ketika diatas katinting dari Saleman hendak ke Saka dia lepas 2 kali tembakan di muka negeri Horale, kemudian ada yang melaporkan peristiwa itu kepada komandannya dan dia dipanggil dan dikenakan sanksi. Terkait dengan permasalahan tanah tadi bapak Yesayas selaku pejabat raja negeri Horale meminta kesedian dari raja Saleman untuk membicarakan itu secara kekeluargaan namun beliau tidak bersedia, kemudian bapak Yesayas mengusulkan penyelesaian dengan melibatkan Muspika di gedung Siwalima kantor kecamatan di Wahai, sesampainya disana diberikan kesempatan bicara namun bapak raja Saleman mau supaya persoalan ini ditempuh melalui jalur pengadilan, selaku pemerintah negeri kami siap menerimanya, bukti-bukti yang diperlukan disiapkan dan sidang berlangsung di pengadilan negeri Masohi cuma terhenti karena terjadi konflik di kota Ambon yang kemudian berdampak ke Masohi. Sebenarnya permasalahan antara Horale dengan Saleman selama ini bisa diselesaikan secara adat, cuma untuk kasus ini karena mereka mau lewat jalur pengadilan negeri maka kami siap meladeni mereka.

·         Pada bulan Juni tahun 1999 tanggalnya tidak pasti, bermula dari pelarangan dan percekcokan mulut antara ibu Sophia Litalesy istri dari bapak Ais dengan anak raja Saleman yang pada waktu itu datang mengangkat kerikil di Waihuta (kali Huta) hal itu menimbulkan perkelahian pemuda kedua negeri yang menjurus kepada masyarakat kedua negeri. Pada saat itu bapak Yesayas Maatukusailemane (Pejabat raja Horale) sedang berada di Saleman dengan raja Saleman untuk mau ke Masohi untuk panggilan rapat. Melihat masyarakat kedua negeri sudah dengan parang maka beliau turun dari mobil dan selanjutnya menggunakan katinting menuju ke negeri Horale, sesampainya disana negeri sudah kosong, anak-anak dan ibu-ibu sudah mengungsi, beliau bertemu dengan ibu pendeta Pentury di sekolah, 4 orang Saniri Negeri, kemudian menggunakan HT beliau menghubungi petugas pengamanan dari Saka dan satu orang petugas polisi dari Seram Timur yang bertugas di Saka untuk bersama-sama pergi ke Saleman, namun mereka bilang tidak berani karena kasus yang terjadi ini sama dengan yang terjadi di Ambon dimana yang berhadapan itu putih melawan merah, cuma bapak Yesayas meyakinkan mereka supaya sama-sama ke Saleman dengan taruhan nyawanya untuk menyelesaikan masalah ini. Beliau mengumpulkan Saniri negeri untuk mengajak bersama-sama pergi ke Saleman tapi mereka takut mengingat kondisi konflik yang terjadi di kota Ambon, akhirnya dengan ditemani oleh bpk. Nick Rumalange (sekertaris negeri), ibu Pendeta Pentury, bapa Raja sekarang (Latumapina) dan petugas polisi mereka berangkat dengan katinting menuju ke Saleman. Sesampainya di depan negeri Saleman menurut beliau, itu masyarakat sangat banyak dengan menghunus parang, panah dan bom mau maju mati, kalau mundur bisa menimbulkan konflik juga, akhirnya beliau tanya kepada Nona Pdt, bagaimana ibu, jawab ibu pdt, maju saja lalu beliau tanya untuk petugas polisi, jawab mereka, mereka juga kaget karena bukannya putih melawan merah tapi merah melawan merah karena mereka juga memakai berang  merah akhirnya kita maju saja.
Setelah katinting merapat dan mereka turun, beliau melihat yang jemput itu bapak Kapitang Muh Rum Rumaolat (alm) beliau memakai salempang pinggang kain hitam, dan beliau mengatakan adik pejabat sudah jatuh ditanah, lalu pejabat Horale balik menjawab kalau bisa belah dada ini apakah hitam hati ini, lalu kapitan suruh semuanya mundur, cuma yang masih mengamuk dengan samurai lengkap dengan bom adalah Murad Olat (orang Sepa), dia bilang “kalau orang Horale bermain parang sebagai anak adat saya juga bisa” lalu dijawab oleh bapak pejabat Horale “kalau ale bisa, kita juga bisa” lalu kapitan melerai dan membentak Murad untuk stop berdebat dan menunjukkan aksinya. Negeri Sepa ini punya hubungan pela dengan negeri Seruawan, lalu ibu pendeta Pentury bilang, “ Pela jangan bilang bagitu, ale pela beta juga pela, ingatang”. Aparat polisi yang ikut serta bersamaan pada saat itu kelihatan sangat takut, karena taruh nyawa dimuka.
Setelah itu raja Saleman mengumpulkan tokoh adat, tokoh agama, saniri negeri dan beberapa purnawirawan yang telah pensiun namun menggunakan pakaian dinas lengkap. Dihadapan mereka semua pejabat negeri Horale bilang yang buat pelarangan untuk ambil kerikil di Waihuta sehingga menimbulkan masalah antara dua negeri ini bukan orang Horale, ibu itu hanya kebetulan kawin di Horale, jadi yang bisa melarang beraktifitas di Waihuta itu hanya orang Horale, coba bapak-bapak pikirkan hal itu baik-baik, lalu bapak pejabat kembali bilang buat mereka, “ saudara-saudara mau angkat kerikil berapa banyak tidak perlu ijin dari ibu itu, yang berhak memberikan ijin itu suaminya karena dia itu anak adat, terus beliau bilang lalu bagaimana persoalan ini? Jawab mereka, “katong dengar dari bapak pejabat itu berarti katong tidak berbuat sesuatu” lalu bapak pejabat Horale bilang mau ambil kerikil berapa banyak? Lalu mereka bilang, “setelah mendengar penjelasan dari bapak pejabat, hari ini juga katong punya emosi menurun, sebagai masyarakat Saleman katong akui katong salah. Setelah itu raja Saleman meminta maaf atas kekeliruan anak-anak yang datang ambil kerikil, jadi apa yang katong dengar, ada pejabat, tokoh adat, pendeta serta tokoh masyarakat dan masyarakat itu selesai, katong selesaikan dan tidak berbuat seperti itu lagi dan kalau mau melakukan sesuatu harus melalui jalur, karena ini adat dan kalau perlu sesuatu harus bicarakan dan minta ijin dari pejabat / raja dan kalau mereka tidak ada ditempat hubungi saniri negeri setempat. Dalam perjalanan pulang ke negeri Horale dengan katinting anggota polsek bilang, “bapak sebagai pemimpin negeri Horale punya nyali sangat besar, kalau menurut kita tadi itu tidak bisa datang ke Saleman, alasannya karena masalah yang dihadapi itu seperti masalah yang terjadi di Ambon sekarang ini kalau datang pasti dibunuh, ada kesan bagi mereka (polisi) bahwa ini bukan putih melawan merah tapi mereh melawan merah yang artinya ada hubungan adat istiadat. Setelah sampai di rumah bapak pejabat membuat laporan ke Muspika kecamatan Seram Utara, mereka menyalahkan bapak pejabat Horale karena tidak berkoordinasi dengan mereka dan menurut mereka untunglah tidak terjadi apa-apa dengan mereka yang pergi ke Saleman.  

·         Pada bulan April 2006 bapak Piet dengan bapak raja ke Wahai dan bermalam di Pasahari kemudian dipanggil oleh bapak Ulis Makatita lalu beliau katakan, bapak tidak diundang untuk proyek Jati Mas, lalu beliau sebutkan nama-nama negeri yang dapat proyek tersebut salah satunya Saleman, lalu itu menjadi pertanyaan, kalau Saleman dapat mengapa Horale tidak, padahal Horale wilayah petuanannya besar, lalu beliau arahkan bapak raja untuk membuat surat, pertanyakan itu ke dinas Kehutanan kabupaten Malteng, mengapa ada proyek penanaman anakan Jati Mas di wilayah Seram Utara oleh dinas Kehutanan kabupaten Maluku Tengah untuk negeri-negeri adat tapi Horale tidak diikutsertakan.
Sesuai kesepakatan rapat hari itu, pada tanggal 5 Mei 2006 itu sudah harus dilakukan pembongkaran. Proyek ini menjadi tanda tanya besar sebenarnya proyek ini siapa yang punya akhirnya, bapak Yesayas dan ibu pendeta punya suami ke dinas Kehutanan tingkat I untuk tanyakan hal ini, tapi jawab mereka proyek itu bukan proyek mereka, mereka bilang coba tanya ke dinas Kehutanan tingkat II, kembali bapak Yesayas, bapa raja dan saniri negeri datang ke dinas Kehutanan kabupaten Malteng, mereka mengatakan, mereka yang punya proyek itu dan pemerintah negeri Horale mengatakan lokasi penanaman Jati Mas disekitar jalan SS itu tanahnya milik petuanan negeri Horale, mereka menjawab, iya, karena kita mau bagaimana lagi, proyek harus jalan. Kemudian pemerintah negeri Horale lapor ke DPRD kabupaten dan ikut sharing dengan komisi A, ternyata komisi A mau memanggil dinas kehutanan sampai sekarang tidak pernah di lakukan, sedangkan Saleman yang adukan masalah penyerobotan tanah oleh orang Horale Pada hari Kamis tanggal 24 Maret kemarin, langsung komisi A merespons dengan cepat, tapi kalau kita punya masalah tidak pernah di tanggapi dengan baik. Jadi pemikiran kita mungkin mereka sudah satu dalam kata dan tidak ada keadilan buat orang Horale lagi di kabupaten ini. Sifat orang Horale yang bisa meredam amarah artinya setiap negeri itu punya tapal batas antar negeri, seperti Saleman, Horale, Wailulu, di dekat kali itu orang Saleman bikin penyerobotan tanah tanpa minta ijin dari orang Horale maupun Wailulu, itu kalau sebagai negeri adat tidak boleh mencuri, artinya mau datang ke negeri adat orang lain saja harus minta ijin apalagi bercocok tanam harus minta ijin bukan ikut mau sendiri, dengan demikian ketika terkait dengan DPRD kabupaten turun, karena orang Saleman melaporkan bahwa kita telah merusak kebun mereka, tapi selama konflik dari 2006-2008 kita tidak pernah bikin tanaman mereka rusak, jangankan jauh disana sedangkan dekat disini saja tidak. Padahal itu diwilayah petuanan kita yang dekat dengan negeri Wailulu, namun kita dilapor membuat kerusakan di kebun mereka.
Kembali ke masalah Jati Mas, kemudian pemerintah negeri Horale menyurati pihak dinas Kehutanan kab. Maluku Tengah dengan tembusannya kepada Polres Kab. Malteng dan GPM supaya dibatalkan proyek tersebut di Saleman karena penanaman akan dilakukan di wilayah petuanan negeri Horalen. Setelah surat tersebut disampaikan satu minggu tidak ada respons dari pihak-pihak terkait, malah terjadi pembongkaran lahan dan kebun-kebun masyarakat Horale untuk penanaman Jati Mas dan Jambu Mete dan juga untuk lahan pribadi oleh orang Saleman, untuk menghalangi supaya mereka tidak membuka lahan lebih luas lagi maka masyarakat Horale kemudian lebih mengaktifkan kegiatan lagi di kebun-kebun mereka dan membuka lahan baru juga untuk membatasi pergerakan orang Saleman.
Puncaknya, karena merasa diabaikan dengan laporan yang disampaikan kepada pemda kab. Maluku Tengah maka atas inisiatif sekelompok pemuda negeri Horale sore harinya itu mereka mencabut anakan Jati Mas dan Jambu Mete yang ditanam orang Saleman, ada sekitar 20.000 anakan yang dicabut pada saat itu.
Setelah seminggu berselang dari aksi pencabutan yang dilakukan, orang Saleman datang untuk mengecek anakan yang ditanam itu sudah tidak ada lagi, kemudian mereka menebang semua pohon kelapa dan pisang milik orang Horale yang berada di tepi jalan sampai bersih tanpa diketahui oleh orang Horale. Kebetulan mantunya bapak raja yang baru datang dari Masohi melihat pohon-pohon tersebut sudah berserakan di tepi jalan dan melaporkan hal tersebut kepada Raja di Saka, tepatnya pada hari Minggu tanggal 9 Juli. Kemudian Bapak Raja dan Bapak Kaur Bapak Ais datang mengecek apakah kejadian itu benar terjadi dan memang terjadi seperti apa yang dikatakan oleh mantunya. Besok paginya hari Senin tanggal 10 Juli Raja Horale mau ke Masohi untuk memberikan laporan. Pada waktu itu anak-anak Horale juga mau balik untuk sekolah di Waipia, di terminal ketika lagi duduk-duduk masyarakat mendengar sudah kacau. Anak-anak Saleman yang menaiki pok-pok hendak ke Saka mengundang anak-anak Horale bahwa kalau mereka jagoan ikut mereka (orang Saleman) ke terminal (Saka). Mengetahui hal itu maka pemuda Horale yang berada di Saka kemudian mengamuk dan membakar walang milik orang Saleman, karena apinya sangat besar sehingga merambat ke kios bensin dan solar milik orang Bugis dan membuat kebakaran lebih besar lagi sehingga rumah-rumah yang ada disekitar tempat itu ikut juga terbakar hal itu terjadi jam 8 pagi. Melihat hal itu maka anak-anak Saleman yang masih berada di atas katinting kembali ke negeri mereka dan kemudian melakukan aksi pembalasan dengan melakukan penyerangan pada jam 9 pagi ke Horale. Dalam aksi penyerangan itu pemuda Horale sudah mengetahuinya kemudian melakukan persiapan dan menunggu mereka diperbatasan kedua negeri. Dalam insiden tersebut diperkirakan melibatkan ratusan masyarakat Saleman dan setelah ada  korban dipihak Saleman maka mereka secara serentak kembali ke negeri mereka.
Tanggal 13 Juli dibuat perjanjian damai dan pernyataan kesepakatan damai antar tokoh masyarakat kedua negeri yang disaksikan oleh Bupati Maluku Tengah, Ir Abdulah Tuasikal dan Kapolres Maluku Tengah, AKBP Herman Agus Purnomo. Aparat yang ditempatkan untuk menjaga keamanan di Saka dan Horale berjumlah 21 orang dari brimob Maluku Tengah yang bertugas selama 2 minggu dari hari kejadian setelah itu yang bertugas hanya anggota polisi biasa dari Polres Maluku Tengah dengan jumlah 2 orang tiap negeri.
Setelah kejadian itu kehidupan masyarakat kedua negeri seperti biasa lagi orang saleman mulai datang ambil kelapa dikebun-kebun mereka dan mulai berinteraksi dengan orang Horale, cuma butir kesepakatan damai yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten Maluku Tengah untuk memediasi perdamaian dari sisi nurani dan secara adat tidak dilakukan, dalam kesepakatan damai itu akan dibentuk tim dari Kabupaten yang akan turun untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat kedua negeri tapi hal itu tidak dilakukan. Kerugian yang dialami, rumah 3 unit, walang, motor 3 unit, mobil kijang, 1 buah speedboat, 2 mesin speedboat, cengkih 7 ton milik orang bugis. Menurut masyarakat Horale, mereka diperlakukan tidak adil didepan hukum alasannya orang Saleman yang pertama menimbulkan kekacauan ini tapi salah satu dari mereka tidak ada yang di tahan apalagi sampai diproses hukum, tapi masyarakat Horale yang membela diri dan negerinya karena di serang orang Saleman ditahan sebanyak 23 orang di polres Maluku Tengah, kemudian 5 orang dipulangkan dan 18 orang diproses lanjut ke meja hijau dan menjalani hukuman kurungan selama 6 bulan dan ada juga yang 9 bulan. Yang anehnya ketika dalam pemeriksaan maupun dalam sidang ketika ditanya oleh penyidik, jaksa dan hakim awal permasalahan kasus ini dan dijawab oleh masyarakat Horale yang ditahan, awalnya adalah dari program penanaman Jati Mas yang dilakukan di wilayah petuanan negeri Horale tapi hal itu tidak ditanggapi oleh mereka dan menurut mereka lebih difokuskan pada peristiwa tanggal 10 Juli dan menurut penilaian mereka masayarakat Horale dalam kasus ini pasti melibatkan orang nomor satu di kabupaten Maluku Tengah.
Ada satu solusi dalam rangka penyelesaian Horale – Saleman ini harus dilakukan pertemuan antar marga lalu bicara dalam koridor orang basudara dari pertemuan itulah baru ditemukan kebenaran. Kalau mau libatkan marga pendatang lainnya di Saleman maka itu susah.

·         Sebelum kejadian tanggal 2 Mei 2008 itu hubungan dan interaksi masyarakat Horale dengan Saleman baik-baik saja, aktivitas berlangsung seperti biasanya mereka datang untuk timbang cengkih, menjual pakaian dan mencari ikan di muka labuhan negeri Horale. Kejadian tanggal 2 Mei tahun 2008, masyarakat negeri Horale tidak menyangka akan mengalami musibah ini. Kata salah seorang pemudanya “kita seperti baru habis terbangun dari tidur dengan mimpi yang menyakitkan”. Sebelum peristiwa ini tidak ada peristiwa yang bisa dibilang menjadi pemicu peristiwa ini, memang ada kabar yang mengatakan bahwa telah terjadi penumpukan massa di negeri Saleman dengan masuknya orang-orang dari luar negeri Saleman dan sudah dilakukan beberapa kali rapat yang dilakukan. Tanggal 29 April 2008 anggota Polsek Wahai datang ke Horale untuk mengecek keadaan negeri Saleman dan Horale karena mungkin mereka sudah mendengar isu mau dilakukan penyerangan tapi mereka juga merahasiakan hal itu dari kami dan alasan mereka datang itu untuk melakukan swiping minuman keras dan HUT RMS, sesampainya mereka dari Horale ke Saka kebetulan disana ada seorang petugas polsek Wahai (Axel Pentury) yang ditugaskan untuk jaga di Saka dia kemudian di suruh untuk kembali ke Polsek Wahai.
Siang hari tanggal 1 Mei 2008 ada syukur kenaikan, masyarakat semuanya ada, tidak melakukan aktivitas apa-apa, tanggal 2 Mei sekitar jam 4 pagi hari masyarakat terkejut, bangun dari tidurnya ketika mendengar 3 kali bunyi tembakan dan mereka menyadari bahwa mereka telah diserang oleh orang Saleman. Dalam keadaan itu masyarakat masing-masing lari menyelamatkan diri ke hutan dibelakang negeri. Penyerangan dilakukan dari berbagai penjuru negeri Horale dari arah perbatasan kedua negeri disebelah Timur ada dua regu penyerangan satu dari arah hutan dan satu dari pantai, kemudian dengan menggunakan speedboat dari arah laut dan dari arah Barat negeri Horale. Penyerangan dilakukan bukan hanya di negeri Horale tapi juga dilakukan di dusun Saka negeri Horale berselang 15 menit dari penyerangan yang dilakukan di negeri Horale. Di Saka masyarakat juga terkejut ketika mendengar bunyi tembakan itu dan mulai keluar dari rumah untuk menyelamatkan diri mereka. Akibat penyerangan yang dilakukan ini menimbulkan korban jiwa 4 orang, 2 orang di Horale yakni bapak E. Unwaru (84) dan Yoseph Latumahina (30) sedangkan di dusun Saka adalah Ny. W. Pattiasina (47) dan Yola Pattiasina  (6). Kerugian material lainnya adalah sebanyak 92 buah rumah yang terbakar, 2 rumah ibadah, 1 buah BK, gedung SD Inpres Horale yang dirusak, 1 kantor negeri dengan balai pertemuan yang dibakar serta puluhan mesin dan body ketinting yang dirusak dan dibakar, dan ganti rugi terkait dengan musibah ini terhadap rumah yang dibakar dilakukan oleh pihak provinsi Maluku tidak ada dari pemerintah Kabupaten.
Setelah habis membakar seisi negeri Horale dan dusun Saka maka para penyerang itu kembali ke negeri Saleman dengan menggunakan speedboat dan katinting sekitar jam 6 pagi. Setelah merasa aman maka masyarakat Horale kemudian turun ke negeri mereka untuk mematikan api di beberapa rumah yang masih terbakar, dan masyarakat menemukan banyak selongsong peluru dan serpihan bom dan juga jerigen berisi minyak tanah yang dicampur bensin serta panah-panah wayer, kopi yang diisi dalam botol dan nasi-nasi bungkus yang berserakan.
Aparat keamanan dari polres Malteng diturunkan sekitar jam 10 pagi disaat penyerangan sudah selesai dilakukan.
Untuk menyelesaikan masalah penyerangan, pembakaran, dan pembantaian masyarakat dan negeri Horale yang dilakukan oleh orang Saleman pada tanggal 2 Mei 2008 kami serahkan kepada pihak aparat keamanan untuk segera mengusut tuntas tapi kenyataannya hanya beberapa yang ditangkap sedangkan ratusan lainnya yang ikut serta dalam aksi tersebut tidak ditangkap dan anehnya mereka hanya beberapa bulan saja menjalani hukuman padahal sesuai dengan UU NO 21 tentang Darurat  yang digantung dalam bentuk spanduk di negeri Horale oleh aparat kepolisian menyatakan barang siapa yang menyimpan, memiliki dan menggunakan bahan-bahan peledak seperti bom, senjata api, munisi diancam dengan hukuman 15 Tahun penjara. Disini kami melihat pemerintah dan aparat hukum tidak adil kepada kami  dengan melakukan pembiaran bagi pelaku kejahatan kemanusian berbuat seenaknya dan hanya diganjar hukuman yang sangat ringan, kalau dibandingkan dengan kasus 10 Juli 2006, dan untuk masalah wilayah petuanan kami sudah mengusulkan supaya diselesaikan secara hukum adat pada tahun 2006 dengan melibatkan Latupati Seram Utara dengan ketuanya raja negeri Sawai, beliau siap dan juga kami negeri Horale siap tapi mereka dari Saleman tidak bersedia, mereka lebih memilih melalui jalur hukum di pengadilan negeri Masohi. Menurut masyarakat Horale mereka (Saleman) takut untuk melalui jalur hukum adat karena menyangkut adat tidak bisa direkayasa dan diputarbalikkan fakta dan kebenaran sedangkan kalau menurut hukum formal negara segala sesuatu bisa diatur apalagi jika ditangani oleh para hakim yang bukan merupakan masyarakat adat Maluku.
Menurut salah seorang pemuda negeri Horale dalam persidangan yang dilakukan, ketika dimintai keterangan sebagai saksi, raja negeri Sawai yang juga ketua Latupati Seram Utara, beliau mengatakan didepan sidang pengadilan negeri, “bahwa secara ukuwah saya mengenal Saleman tapi secara adat saya katakan sejujurnya saya tidak kenal Saleman”.
Untuk kasus penyerangan pada tahun 2008 ini langkah konkrit penyelesaian masalahnya sudah dilaksanakan melalui jalur hukum dan upaya mediasi untuk perdamaian kedua negeri ini juga belum dilakukan karena belum ada pihak ketiga yang mau melakukannya, dan masyarakat kedua negeri ini juga lebih menunggu hasil putusan hukum yang sedang dijalani di tingkat Mahkamah Agung. Walaupun demikian masyarakat Horale secara berbesar hati siap untuk duduk satu meja dengan masyarakat Saleman untuk membicarakan perdamaian.
Menurut raja negeri Horale bapak Herman Latumapina, “Apa yang terjadi itu adalah kehendak Tuhan, dan segala sesuatu yang merupakan kehendak Tuhan itu, akan indah pada akhirnya ”.

SEJARAH NEGERI HORALE


SEJARAH NEGERI HORALE
By Revo Gaspersz

a.  Asal-Usul
Horale adalah sebuah negeri yang berasal dari Nunusaku, termasuk dalam sukuWemale dan merupakan rumpun Patalima. Karena satu peristiwa yang terjadi disana maka mereka memisahkan diri mencari tempat tinggal yang baru.
Moyang mereka dipimpinan oleh kapitan Telekoho (dari marga Kolohuwei), kapitan Tuisalaholea (dari marga Maatukusailemane), kapitan Soiletumene (dari marga Kololu) keluar dari Nunusaku kesebuah tempat yang bernama Sapulaulatale (berjalan sapu sampai jalan rata) dibelakang Taniwel kemudian menggunakan petunjuk alam berupa Naga Langit mereka berjalan terus kesatu tempat yang namanya Papusiwa (babi Sembilan). Dengan berjalan mengikuti terus Naga Langit itu mereka sampai di Waraloi / kampung lama (Waraloyeng artinya degu-degu atau batang anak panah), kemudian perjalanan dilanjutkan sampai di belakang negeri Warasiwa dan bermalam di tempat / kampung itu yang namanya Tipiyasu (bunuh anjing). Belum mendapatkan tempat yang aman untuk pemukiman, mereka kemudian melanjutkan perjalanan mendaki gunung dan bermalam disebelah negeri Latea disekitar sungai Sakrawala, dari situ perjalanan dilanjutkan dan tibalah disebuah gunung kecil tepatnya dibelakang kampung Saka sekarang dan mereka kemudian berdiam disitu, nama tempatnya adalah Amanlanye (sudah dekat dengan pantai). Oleh sebagian rombongan yang ikut, karena kurangnya faktor keamanan di Amanlanye (mengingat pada saat itu sering terjadi peperangan antar suku) maka dengan musyawarah mereka meneruskan perjalanan terus ke gunung Kelepessi yang ada dibelakang negeri Horale sekarang, dan selanjutnya mereka turun dan berdiam di bawah gunung Kelepessy sekarang ini.
Moyang negeri Horale sewaktu dari Nunusaku turun dengan nama Nakane (menurut orang tua-tua, nama Nakane itu karena waktu keluar dari Nunusaku itu mereka mengikuti petunjuk alam dilangit yang menyerupai naga).
Kemudian rombongan yang berada di Amanlanye turun ke daerah dekat pantai dan namanya adalah Nakaheli (Nakane kusu-kusu – karena daerahnya banyak rumput kusu-kusu)), sedangkan rombongan yang ada di gunung Kelepessy itu setelah turun ke daerah pantai namanya Nakapatu (Nakane berbatu – karena daerahnya banyak batu-batunya)

Dalam rombongan besar yang dipimpin oleh tiga kapitan itu terdapat 15 marga dengan fungsi-fungsinya yakni :
1.             Marga Kolohuwei ; Kapitan
2.             Marga Kololu ; Kapitan
3.             Marga Maatukusailemane ; Kapitan
(menjaga orang Saleman – lindungi marga Haloatuan)
4.             Marga Patalatu ; Keturunan Raja, Marga Parenta. Patalatunusa-Mauweng
5.             Marga Maalalu ; Pembawa Jalan
6.             Palaapi
7.             Marga Rumapusule ; Pembuat Panah
8.             Marga Latumapina ; Raja Perempuan
9.             Marga Maawara ; Tunggu orang yang dari belakang
10.         Marga Maatukusuanatelu ; Penjaga Baileo
11.         Marga Rumalange ; Rumah ditepi pantai
12.         Marga Tunupu
13.         Marga Rumahuru ; Rumah diujung
14.         Marga Mahali ; Bakar Damar untuk penerangan
15.         Marga Helele ; marga yang kemudian menetap di negeri Rumapelu.

Dinegeri Horale seorang anak yang baru lahir sebelum dipotong tali pusar nya sudah dipersiapkan nama Hindunya, untuk laki-laki ada yang bernama; Nyane, Toise, Sapiale, Saite, Tuale, Teleam, Taoila dan yang perempuan bernama; Rapie, Siloo, Powa, Telinye dll.

b.  Hubungan Kekerabatan
Negeri Horale mempunyai hubungan Pela dengan Negeri Nuniali, namanya Pela Parang.
Menurut cerita yang diberikan oleh orang tua-tua, pada jaman dahulu sering terjadi peperangan antar negeri dimana salah satunya melibatkan negeri Horale dengan negeri Nuniali, dalam peperangan itu menimbulkan banyak korban diantara dua negeri sehingga untuk menghindari korban bertambah maka diangkatlah Pela diantara kedua negeri dengan nama Pela Parang.
Pantangan dari pela ini adalah kedua masyarakat / orang negeri ini tidak bisa memegang barang tajam dihadapan masing-masing orang / masyarakat kedua negeri, tidak boleh kawin mengawin. Holinye (Pamali) kata mereka. Kalau hal itu terjadi maka akan terjadi guntur kilat yang besar dan untuk menghentikan kilat dan guntur tersebut harus diambil rambut dari orang tersebut yang membuat pelanggaran itu kemudian diikat ke mata panah lalu dipanahkan ke udara.
Situs untuk pembuktiannya perlu ditelusuri lagi karena hal itu sudah berlangsung cukup lama. Sampai sekarang belum dilakukan panas pela antar kedua negeri namun sudah ada upaya dengan dilakukan pendekatan antar pemerintah kedua negeri untuk dilakukan panas pela namun kelanjutanya belum pasti.
Masyarakat sangat merasa penting sekali untuk melakukan panas pela tersebut untuk menjalin lagi hubungan diantara kedua negeri dan yang terutama supaya anak – cucu kedua negeri bisa tahu hal itu dan yang penting bisa terhindar dari pantangan yang ada.
Hubungan kekerabatan lainnya seperti Gandong mungkin berupa gandong dengan marga-marga tertentu seperti marga Helele di negeri Lumapelu.

c.       Antara negeri Horale dengan Saleman ada beberapa marga yang mempunyai hubungan.
Ada 2 marga di negeri Horale yang mempunyai hubungan dengan 3 marga di negeri Saleman, yaitu Marga Maatukusailemane (Horale) dengan marga Haloatuan (Saleman) dan marga Kolohuwei (Horale) dengan marga Makuituin dan Ialuhun (Saleman). Hubungan yang terjadi adalah pada jaman dulu moyang Maatukusailemane menemui moyangnya Haloatuan dan diambil menjadi anak angkat, begitu juga dengan moyangnya Kolohuwei mengangkat moyangnya Makuituin menjadi anak angkat juga, sementara Kolohuwei bapak Toby ini karena kakek dari bapak Toby menikah dengan seorang perempuan Saleman yang bermarga Ialuhun (hubungan karena pernikahan), sejarah ini semua orang tahu, sejarah bahwa sepakterjangnya Makuituin seperti apa, semua orang tahu itu dan orang Sawai juga pernah menceritakan sejarah itu, dan jujur kita tidak mengada-ada di depan publik. Di lihat dari latar belakang sejarah wilayah ini tetap punya negeri Horalle, semua negeri adat mendukung itu, cuma karena dunia peradilan pada saat ini ketika persoalan ini di bawah ke rana hukum, ada kepentingan politik, ada kepentingan apa saja, semua itu bisa terbalik, kita sadari itu dan kita juga tidak tinggal diam.

d.   Interaksi sosial lainnya
Sebagai negeri tetangga yang berbatasan, hubungan antara masyarakat negeri Horale dengan Saleman itu sudah terjalin baik sejak dahulu kala. Dikala terjadinya pemberontakan RMS pada tahun 1950 di kota Ambon dan imbasnya dirasakan ketika para pemberontak ini mulai lari dan bergerilya di hutan-hutan pulau Seram yang mengakibatkan terjadinya penempatan pasukan keamanan di negeri-negeri yang ada di Seram Utara, salah satunya adalah negeri Horale pada kisaran tahun 1954. Masyarakat negeri Horale menjadi tertekan dengan ulah para pasukan yang ditempatkan itu (Mobrig) karena sering bertindak sewenang-wenang kepada masyarakat, karena tidak tahan dengan ulah pasukan keamanan itu maka raja negeri Horale beserta keluarga dan beberapa masyarakat Horale memilih untuk mengungsi ketengah hutan sehingga tinggal sekitar 14 kepala keluarga yang ada di negeri Horale dan untuk mempermudah pengawasan aparat keamanan terhadap mereka yang masih tinggal di Horale maka mereka dengan penduduk negeri Pasanea diungsikan ke negeri Saleman.
Masyarakat negeri Horale yang akan pergi ke kebun / dusun sagu / hutan mereka harus menyertakan salah seorang penduduk Saleman yang harus menandatangani surat jalan di pos penjagaan, hal ini dilakukan mengingat pada saat itu banyaknya anggota RMS yang bergerilya dihutan dan ditakutkan oleh pasukan keamanan nanti masyarakat Horale yang ke hutan akan berkomunikasi dengan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai berakhir pada Januari tahun 1964 dimana selesai misi penumpasan RMS maka masyarakat yang diungsikan ke Saleman kembali lagi ke negeri Horale. Karena hubungan baik kedua masyarakat negeri ini waktu bersama di negeri Saleman pada saat dilakukan misi penumpasan RMS oleh TNI itu maka praktek kebersamaan itu berjalan terus dimana kalau masyarakat Saleman yang mau pukul sagu, ambil kelapa, ambil bangkawang, kayu besi dan lain sebagainya dating minta dulu ke masyarakat Horale yang punya dengan catatan kalau pukul sagu maka 2 tumang harus diberikan kepada pemilik pohon sagu dan sisanya buat mereka (namanya maano), hal ini berlangsung sampai tanggal 9 juli 2006……………………………..